Cahaya di Bumi Amerika
Pembicara : Robie Kholilurrahman (Visiting Researcher Northwestern University, USA)
Muslim AS dari Era 9/11 hingga Era Trump: Kebencian yang
Meningkat, Rasa Ingin Tahu yang Menyeruak
Pasca insiden 9/11 dan Global
War on Terror yang dicanangkan mantan Presiden GW Bush, terjadi peningkatan
rasa ingin tahu masyarakat AS khususnya dan Barat umumnya terhadap Islam.
Penjualan mushaf meningkat, misalnya. Pada waktu yang dekat pasca 9/11,
penjualan Mushaf terbitan Penguin
Classics meningkat lima kali lipat dan untuk dua pekan berturut-turut
bertengger di daftar buku terlaris versi USAToday
<1>
<1> People want to
know, so Koran is best seller” https://usatoday30.usatoday.com/life/books/2001-10-18-koran.htm.
Lebih dari itu, banyak penduduk AS yang justru masuk Islam.
Tampaknya ini karena bombardir media massa yang terlalu berlebihan tentang
Islam sebagai agama teroris telah membuat mereka penasaran, lalu mempelajari,
dan justru tersentuh oleh ajaran Islam.<2>
<2> Islamophobia is on the rise in the US. But so is
Islam” https://www.pri.org/stories/2016-09-09/muslims-america-are-keeping-and-growing-faith-even-though-haters-tell-them-not;
“Number of Muslims in the
U.S. doubles since 9/11” http://www.nydailynews.com/news/national/number-muslims-u-s-doubles-9-11-article-1.1071895;
“
“Conversion To Islam
One Result Of Post-9/11 Curiosity” http://www.huffingtonpost.com/2011/08/24/post-911-islam-converts_n_935572.html.
Hal ini terjadi sementara tingkat kekerasan dan kebencian
terhadap Muslim juga meningkat. FBI mencatat pada tahun 2001-2002 terjadi
peningkatan kejahatan kebencian terhadap Muslim AS sebesar 17 kali
lipat.<3>
<3>
“Attitudes Toward Muslim Americans
Post-9/11” https://quod.lib.umich.edu/j/jmmh/10381607.0007.101/--attitudes-toward-muslim-americans-post-911?rgn=main;view=fulltext
Hari-hari ini sendiri bukanlah waktu yang baik bagi Muslim di
AS. Sejak akhir masa pemerintahan mantan Presiden Obama, AS telah menyaksikan
peningkatan kekerasan petugas kepolisian terhadap kelompok minoritas. Di
antaranya adalah Insiden Baltimore 2015.<4>
<4> “Death of
Freddie Gray” https://en.wikipedia.org/wiki/Death_of_Freddie_Gray.
Kasus ini, pembunuhan seorang pemuda kulit hitam oleh petugas
kepolisian, telah memancing serangkaian demonstrasi besar dengan beberapa kali
bentrokan fisik, yang hingga kini masih berlanjut dengan taglinenya
#BlackLivesMatter. Umat Muslim di AS sebagai salahsatu bagian dari kelompok
minoritas terus menerima stereotype negatif
yang umumnya dikenakan sebatas dari penampilan fisik (kulit hitam / coklat,
jenggot bagi kaum lelaki, dan hijab bagi kaum perempuan). Di antara contohnya
yang terkenal adalah kasus Ahmad, remaja Muslim yang dituduh membawa bom ke
sekolahnya padahal Ia membawa jam rakitannya sendiri.<5>
<5> “Ahmed Mohamed
clock incident” https://en.wikipedia.org/wiki/Ahmed_Mohamed_clock_incident.
Seperti di era pasca 9/11, tren negatif kontemporer ini terjadi
bersaman dengan tren-tren positif terkait Islam dan Muslim di AS. Di antaranya
adalah sehat, meningkat, dan diterimanya jasa-jasa keuangan berbasis Syariah di
AS. Umat Muslim semakin mudah mendapatkan alternatif pendanaan untuk bisnisnya,
atau skema asuransi, yang terhindar dari riba.<6>
<6>
“Shariah financing growing popular in the
West” https://www.usatoday.com/story/money/business/2014/10/11/shariah-compliant-islamic-financing-usa-europe/16828599/;
“Retirement Savings, the Muslim Way” https://www.nytimes.com/2017/06/30/your-money/retirement-savings-the-muslim-way.html.
Hal-Hal di atas terjadi sebelum kita masuk ke era Trump. Di era
Trump, situasi jauh lebih memburuk lebih-lebih bagi kelompok minoritas, di
antaranya Muslim. Trump sudah membatasi izin masuk imigran dari beberapa negara
Muslim seperti Iran, Yaman, Syria, Libya, Somalia, dan Sudan.<7>
<7>
“Trump travel ban comes into effect for six
countries” http://www.bbc.com/news/world-us-canada-40452360.
Trump juga menghentikan DACA / _Deferred Action for Childhood
Arrivals,_ kebijakan AS untuk tidak mendeportasi mereka yang datang secara
illegal ke AS sebagai anak-anak—banyak di antaranya Muslim.<8>
<8> “The End of DACA
Is the Latest Nightmare for Undocumented Muslims” https://www.vice.com/en_us/article/8xxpx5/the-end-of-daca-is-the-latest-nightmare-for-undocumented-muslims.
Selain kebijakannya sebagai presiden, dampak buruk dari era
Trump bagi Muslim AS adalah bangkitnya kelompok kanan garis keras yang kini
berani secara terang-terangan menunjukkan jati dirinya, menggalang dukungan,
bahkan melakukan serangan-serangan fisik. Seolah-olah mereka merasa aman karena
ada Trump duduk di kursi presiden, yang akan membela keonaran yang mereka
lakukan. Di antara insiden yang belum lama meletus adalah rapat akbar kelompok
Nasionalis Kulit Putih di kampus Universitas Virginia. Mereka menolak gerakan
kota tersebut (Charlottesville) untuk menurunkan patung Tokoh Konfederasi
(negara yang kalah pada Perang Sipil AS, yang pro perbudakan dan rasisme).
Ketika ada kelompok yang berusaha membela kelompok minoritas ini dan menandingi
apel akbar kelompok Nasionalis Kulit Putih di atas, kelompok Nasionalis Kulit
Putih ini menyerang dengan kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa.<9>
<9> “Charlottesville
attack: What, where and who?” http://www.aljazeera.com/news/2017/08/charlottesville-attack-170813081045115.html.
Cahaya dari Bumi Amerika: Dai Aktivis,
Koresistensi, dan Masa Depan Islam di AS
Di AS bagian selatan, gerakan penurunan patung Tokoh Konfederasi
memang sedang marak dilakukan oleh berbagai komunitas, termasuk komunitas
muslim. Di antaranya adalah Syaikh Omar Suleiman di Texas. Syaikh Omar adalah
keturunan Palestina yang tumbuh besar di AS. Setelah menamatkan Pendidikan
syariahnya, Syaikh Omar mengabdikan diri sebagai Imam dan Tokoh Masyarakat.
Bagi umat Muslim di Indonesia, Syaikh Omar lebih dikenal sebagai Dai Youtube bersama dengan Brother Nouman
Ali Khan dan beberapa Dai yang lainnya dari AS. Tapi Syaikh Omar juga sangat
aktif, terikat, dan peka dengan permasalahan sosial di sekitarnya. Bersama
pimpinan komunitas umat beragama yang lain, Syaikh Omar menggalang gerakan
memprotes pembunuhan remaja kulit hitam di daerahnya, memprotes _travel ban_
yang diterapkan Trump, dan juga menggalang bantuan untuk korban-korban bencana
alam.<10>
<10> _"The Preacher”_ https://www.dmagazine.com/publications/d-magazine/2017/july/the-preacher-imam-omar-suleiman/.
Bisa dikatakan, saat-saat ini adalah saat dimana Islam dan Umat
Muslim sekali lagi menjadi salahsatu tema perbincangan utama di AS, seperti era
pasca 9/11. Di samping efek langsung yang buruk bagi keamanan umat Muslim di
AS, situasi dan kondisi ini juga membawa blessing
in disguise yaitu munculnya ruang-ruang untuk komunitas-komunitas Muslim
bekerja bersama, bergandegan tangan dengan komunitas-komunitas lain dengan
cakupan yang lebih luas dalam menghadapi musuh bersama mereka: Rezim Trump dan
kebangkitan Kelompok Kanan Garis Keras. Perlawanan terhadap rezim Trump ini
dapat dikatakan melampaui etiket lintas Iman co-existence menjadi co-resistance
atau bersama-sama lintas Iman membela yang tertindas dan melawan kezholiman. Harapannya,
hal ini dapat menjadi jalan tersampaikannya cahaya ajaran Islam ke hati warga
AS yang lebih luas. Islam yang berlaku adil, membela yang lemah, mengatakan
kebenaran walau pahit, berkata tegas di hadapan penguasa yang zholim. Islam
yang peka, tidak tercerabut dari keadaan dan permasalahan masyarakat di
lingkungannya. Islam yang tersenyum dan terbuka, yang ingin berdialog dan bukan
menebar prasangka. Melihat perkembangan ini, tidak mengherankan melihat studi
yang menunjukkan bahwa Islam akan menjadi agama nomor dua terbesar di AS pada
tahun 2050, menggeser Yahudi. Diprediksi saat itu jumlah populasi Muslim di AS
akan bertambah dua kali lipat dari saat ini.<11>
<11>“Muslim Population in U.S. to Double by
2050, Study Shows” http://www.breitbart.com/big-government/2015/12/10/muslim-population-u-s-double-2050-study-shows/.
Bisa dikatakan, saat ini suara Islam dan Muslim adalah bagian
dari suara warga AS yang berjuang untuk keadilan, kesetaraan, keberagaman,
serta penghormatan dan penghargaan terhadap sesama manusia. Di kubu seberangnya
adalah kelompok rasis, Nasionalis Garis Keras, Kanan Ekstrem yang ingin
mengusir semua imigran, ingin membangun tembok pembatas dari Meksiko,
menganggap semua Muslim = teroris, serta ingin menciptakan AS yang terdiri
hanya dari orang kulit putih.
Hari ini, Umat Muslim semakin terintegrasi ke dalam masyarakat
AS. AS sebagai bangsa berusia relatif muda, baru ratusan tahun. Hal menarik
dari bangsa AS adalah mereka sepanjang sejarahnya menerima kebudayaan dan
masyarakat dari berbagai belahan dunia dan memasukkan nilai-nilai positif dari
kebudayaan tersebut menjadi bagian dari kebudayaan AS sendiri. Saat ini kita
bisa saksikan proses itu sedang terjadi antara kebudayaan Muslim (agama Islam)
dengan masyarakat AS. Opsi menu halal tidak aneh lagi kita lihat ditawarkan di
acara-acara internasional seperti orientasi kampus. Restoran-restoran berlabel
halal marak di kota-kota besar. Perempuan yang menutupi auratnya bukan lagi
pemandangan langka. Bahkan di Kota New York, Idul Fitri dan Idul Adha adalah
hari libur bagi sekolah-sekolah negeri.<12>
<12> “New York City
public schools to have Muslim holidays off” http://www.cnn.com/2015/03/04/us/new-york-muslim-school-holidays/index.html.
Sebelum penutup, izinkan kami mengutip pernyataan dari seorang
tokoh pembaharu Islam abad 19, yang bersama Jamaluddin Al-Afghani dan Rasyid
Ridha umum dirujuk sebagai Tokoh-Tokoh Reformis Islam. Muhammad Abduh pernah
berkata: “I went to the West and saw
Islam, but no Muslims”; I got back to
the East and saw Muslims, but not Islam.” Muhammad Abduh mengatakan ini
dahulu di tengah situasi keterpurukan umat Islam dan berkuasanya peradaban Barat.
Mudah-mudahan segera pernyataan ini bisa diubah menjadi "I went to the West and saw Islam, and Muslims”.
Terakhir, ada yang dapat dipelajari oleh para pemuda/i Muslim di
Indonesia dari ekspresi keberislaman yang sedang berkembang di Barat, terutama
AS, seagaimana telah diuraikan di atas. Bagi kami, posisi para _Ahlul-Ilmi_ dan
para Imam yang setia di sisi ummat menghadapi permasalahan-permasalahan yang
melanda, dan bukan yang duduk diam beribadah di pojok Masjid di saat ummat
berteriak menderita karena ditindas, adalah kunci bagi pencerahan keberislaman
di Indonesia.
#SESI TANYA JAWAB
·
Q : apakah ada dampak
langsung dari kondisi muslim dan kebijakan2 AS tersebut terhadap Indonesia?
Jika ia mohon dijelaskan seperti apa.
Saya belum melihat dampak
yang sangat langsung ke Indonesia sejauh ini. Tapi rasa kekhawatiran dan
was-was telah menyebar sangat luas dan dalam, terutama bagi mereka yang tinggal
di US atau besar di US (termasuk WNI). Karena pertama, bisa saja suatu saat
Trump mengeluarkan kebijakan yang lebih tidak diduga-duga dari yang sudah
dikeluarkan sekarang. Kedua, laporan tentang kekerasan terhadap Muslim dan
orang-orang kulit berwarna, baik itu kekerasan fisik ataupun verbal, semakin
hari semakin banyak. Bisa dikatakan situasi ini membuat keseharian warga Muslim
AS, baik penduduk atau bukan, baik WNI atau warga negara lain, menjadi sangat
tidak nyaman.
Sebagai tambahan, bagi
warga AS sendiri, keberadaan Trump sebagai presiden mereka adalah hal yang
sangat memalukan sekaligus menyeramkan dan mebuat marah. Mereka sama sekali
tidak menyangka orang seperti itu dapat memenangi pemilu di AS tahun 2016 lalu.
Banyak dari mereka yang sampai tidak nyaman untuk berbicara / mendiskusikan
persoalan ini secara terbuka karena _sakitnya tuh di sini,_ ini menjadi hal
yang sangat emosional dan personal bagi mereka. Wallahu A'lam.
·
Q: Bagaimana tanggapan pemateri terkait nilai
investasi negara Arab Saudi kepada Amerika sebesar krg lebih 2.000 Triliun?
Karna investasi tsb dilakukan pasca terpilihnya Trump dan isu kontroversi Trump
thd Islam yg disebutkan pemateri tsb di atas. Sementara nilai investasi di
Indonesia hanya bekisar 89 Triliun.
Pertanyaan yang sangat
menarik, dan cukup sensitif. Bismillah saya coba jawab. Mau ga mau pertanyaan
ini perlu juga sedikit membahas persoalan Geopolitik di Timur Tengah.
Sebelumnya, kami perlu
tegaskan bahwa Arab Saudi adalah sebuah Kerajaan. Ya, Ia mengaku membasiskan
konstitusinya dari Al-Qur'an. Tapi Ia adalah Kerajaan. Suksesi kepemimpinannya
berdasar keturunan dan ikatan darah (hal yang Islam sebenarnya berusaha
hapuskan sejak era Nabi Muhammad SAW), seperti Inggris, Belanda, Spanyol, dan
negara-negara kerajaan yang lain.
Saya ingin menyatakan
bahwa Arab Saudi tidak bisa kita anggap sebagai representasi Islam. Ya, mungkin
individu Raja Salman adalah Raja yang baik secara personal, sholeh secara
keagamaan. Tapi Ia adalah 1 orang yang baru menjabat, di tengah-tengah
kompleksnya sistem kerajaan yang telah berjalan sebegitu lamanya, dengan
beragam kepentingan yang tertanam di dalamnya. Ya, Kerajaan Arab Saudi adalah
pelayan Dua Tanah Suci ummat Islam (Makkah dan Madinah). Untuk itu kita berdoa
semoga Allah membalas jasa mereka dengan ganjaran yang setimpal. Tapi ini tidak
otomatis menjadikannya sumber otoritas kebenaran terkait Islam. Bahkan
baru-baru ini kita lihat berita tentang ditolaknya jamaah haji dari Qatar,
negara Islam lain yang sedang diembargo
oleh Arab Saudi.
Ini tentang Arab Saudi.
Belum setengah tahun yang lalu, kita menyaksikan bagaimana Arab Saudi
menggalang kampanye internasional untuk mengembargo Qatar, yang kemudian dibela
oleh di antaranya Turki dan Iran. Arab Saudi tidak ingin Qatar memiliki politik
luar negeri yang independen. Ia ingin Qatar selalu bersikap sesuai yang Ia
inginkan. Di sisi lain, Qatar adalah salahsatu penyumbang besar bagi sebuah
gerakan Islam transnasional yaitu Ikhwanul Muslimin, yang keberadaannya
dianggap sebagai ancaman oleh Arab Saudi. Hal ini karena Ikhwanul Muslimin
mengambil jalur perjuangan parlementer untuk mengambil kekuasaan dan
menjalankan ajaran-ajaran Islam di level negara, dan hal ini tidak kompatibel
dengan sistem kerajaan seperti yang diterapkan Arab Saudi.
Kembali ke AS, Arab Saudi
dan AS adalah sekutu yang sangat dekat sejak lama. Kepentingan mereka
berkelitkelindan mulai dari persoalan suplai minyak hingga persoalan kestabilan
kawasan Timur Tengah. Tidak mengherankan jika investasi Arab Saudi jumlahnya
lebih besar ke AS yang notabene bukan negara bermayoritas penduduk Muslim,
dibanding misalnya Indonesia. Kalau kita cek, jumlah investasi Arab Saudi ke
RRT juga lebih besar dari jumlah investasinya ke Indonesia. Dalam hal ini, Arab
Saudi mengambil keputusan investasinya tidak berdasar pertimbangan solidaritas
sesama negara Muslim, tapi sebatas pertimbangan keuntungan ekonomi
belaka.
Lawatan internasional Raja
Salman baru-baru ini untuk mengucurkan investasi besar-besaran ke berbagagai
negara adalah usaha Arab Saudi untuk memodernisasi perekonomiannya yang sedang
lesu karena harga minyak internasional yang sedang menurun sehingga mengurangi
pemasukan negara tersebut dan mengancam stabilitas kekayaannya di masa depan.
Di sisi lain, di sini kita
bisa melihat kemunafikan Trump. Ternyata Dia tidak benci semua Muslim. Dia
benci kebanyakan Muslim, tapi Dia
tidak benci dengan Muslim yang bisa mendatangkan investasi ke AS, atau yang
bisa mengamankan kepentingan AS di Timur Tengah. Mudah-mudahan ini menjawab, Wallahu
A'lam. Maaf kalau terlalu panjang.
– Closing Statement–
Baik, terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Semoga ada
manfaat dan pelajaran yang bisa dipetik. Secara khusus saya menyarankan untuk
peserta grup ini membaca link-link referensi yang saya cantumkan, dan
setidaknya membaca link ini tentang profil Syaikh Omar Suleiman:
Komentar
Posting Komentar